Wednesday 14 February 2018

Bukan Usia, Melainkan Kemampuan

Memilih pemimpin itu bukan soal siapa yang seharusnya lebih dulu, siapa kemudian. Lantaran, siapa lahir lebih dulu, siapa merasakan menghirup udara kemudian. Lalu, siapa yang labih sepuh berhak mendapatkan jatah kursi sebagai pemimpin, baru kemudian dilanjutkan oleh yang lebih muda, tentu ketika umurnya sudah sepuh pula.
Laiknya tradisi kerajaan. Untuk menjadi pemimpin, umur mendapatkan porsi lebih besar dari pada kemampuan. Anak tertua (putra mahkota) punya peluang besar meneruskan estafeta sebagai raja. Apakah yang lebih tua mampu atau sebaliknya, itu soal belakangan. Yang paling penting, tradisi itu harus terus menerus dipelihara dengan baik. Persetan dengan rakyat; mau miskin, busung lapar, dan gelandangan.
Hari ini, yang demikian, sebenarnya aneh. Anehnya, pemikiran semacam itu tumbuh di saat kondisi sudah jauh berubah. Dimana, alasan utama memilih pemimpin adalah kemampuan. Kemampuan menjadi pelayan yang baik, mengemban amanah yang dipercayakan masyarakat melalui pemilihan langsung. Bukan berbagi kesempatan melalui antrian usia.
Nah, bicara kemampuan ukurannya bukan soal umur, namun seberapa bisa berbuat untuk memberi pelayanan terbaik kepada masyarakat. Mengutip istilah yang dipopulerkan Dahlan Iskan, “Kerja, kerja, kerja”. Cara-cara seperti turun langsung, melihat dan mendengar sendiri masalah masalah yang dihadapi oleh masyarakat, menghargai keberadaan orang lain dengan dialog, tentu, pemimpin yang membumi seperti inilah yang diharapkan keberadaannya.
Pemimpin memang harus dekat dengan masyarakat, tidak boleh ada jarak. Dengan begitu, selain mengetahui kondisi di lapangan (identifikasi masalah-masalah), masyarakat bisa menilai kemampuan melalui tatap muka langsung; visinya, serta ketertarikannya untuk memikul tanggung jawab setiap masalah yang dihadapi masyarakat. Model pemimpin seperti inilah (riil pemimpin) sebenarnya yang berani mengambil tanggung jawab lebih.
Tanggung jawab yang memiliki keterikatan emosional antara seorang pemimpin dengan masyarakat. Disini, masyarakat tidak hanya diekploitasi suaranya untuk kepentingan di lumbung saja, lebih dari itu, diberdayakan, diangkat derajatnya sebagai “tuan” yang harus dilayani kepentingannya dengan sangat baik. Inilah kemampuan yang harus dimiliki seorang pemimpin. Bukan bekal usia.
Paham kan, sayang?
Minhaji Ahmad, Abdi Dhalem PCNU Pamekasan.

Share:

Gambar Ini, Dibuat Sendiri?

Dalam dunia politik, selalu ada cara untuk memperburuk citra lawan. Nyaris, tak ada hal yang tidak bisa dieksploitasi. Bahkan, dalam keadaan baik-baik saja pun, politik seolah memberi ruang terbuka membenarkan diri berbuat semau gue dan menghadirkan kesalahan pada pihak lain.
Seperti pada gambar di atas. Apakah benar itu dilakukan oleh pihak lawan? Jawabannya: belum tentu. Untuk mengetahui bagaimana kemungkinan itu bisa terjadi, saya bantu urai ya, sayang.
Jadi begini,
Pada saat memutuskan maju sebagai calon dalam ajang kontestasi politik, siapapun calonnya, harapannya pasti bisa meraih kemenangan. Apalagi “wajib menang” sudah menggurita di ubun-ubun, maka apapun akan dilakukan untuk melapangkan jalan menuju kemenangan.
Gairah wajib menang ini tentu memiliki pesan sekaligus ekses negatif secara bersamaan. Pesan itu bisa berupa, wajib menang untuk membayar utang-utang yang digali untuk pembiayaan Pilkada. Ekses negatifnya, wajib menang ini adalah sugesti alam bawah sadar, demi kekuasaan, apapun pasti dilakukan. Ingat, apapun..!
Agar bisa keluar menjadi pemenang, tanpa perlu diajari, siapapun pasti sangat paham bahwa meraup suara sebanyak-banyaknya adalah keharusan yang tak bisa ditawar-tawar dalam sebuah pemilihan langsung, seperti Pilkada. Caranya bagaimana? Meraih simpati masyarakat pemilih.
Salah satu cara meraih simpati selain mengeksploitasi simbol-simbol yang pengaruhnya cukup kuat mengarahkan pilihan (simbol ini bisa membuat masyarakat termehek-mehek tak kuasa menolak), adalah pintar memainkan diri sebagai korban. Istilah ini dikenal dengan playing victim.
Memahami maksud gambar di bawah ini kaitannya dengan playing victim, sebenarnya sangat mudah. Maksud gambar ini tidak lain untuk mengarahkan persepsi publik, dengan asumsi telah terjadi perilaku tidak sopan dilakukan oleh salah satu pendukung dengan cara menempelkan stiker di gambar muka calon yang lain.
Kemudian digoreng sedemikian rupa, dikomentari sepuas hati. Agar apa? Simpati masyarakat kepada calon yang lain hancur lebur karena ulah pendukungnya. Padahal, jika si doi mengerti efek buruk karena menempelkan stiker tersebut, pertanyaannya, mana mungkin bagi pendukung yang lain melakukan demikian merugikan buat figurnya? Ini kan, namanya bunuh diri.
Berarti gambar ini sengaja dibuat?
Idrus Marham, menjawab. Dilansir dalam sebuah status facebook milik Khairul Anam Harisah, beliau menyampaikan pesan begini: masuk dunia politik seperti masuk ke dalam ruangan gelap gulita. Maka kita butuh lilin sebagai penerang.
Paham kan, sayang?
Minhadji Ahmad, Pegiat Literasi di Kabupaten Pamekasan.
Share:

Nomor Urut Satu sebagai Tanda Baik


Sejak munculnya nomor urut bagi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati, dunia persilatan di Kabupaten Pamekasan langsung ramai. Semula saya tidak mau ikutan urusan “satu” dan “dua” ini. Tetapi karena dunia persilatan ramai dengan angka itu, terpaksa saya juga harus ikutan. Setidaknya ikut serta meramaikan, semumpung masih hangat.
Angka yang sedianya hanya sebagai media penentu posisi dalam baris lembaran surat suara pencoblosan, kini menjadi sesuatu yang bernilai magis bagi paranormal; bernilai seni bagi kaum kreatif, dan; bernilai petunjuk bagi kaum pemikir, kemudian menyeret pada banyak spekulasi para cendikia. Meski tidak ada korelasi khusus secara ilmiah, beberapa para akademisi-dalam status facebooknya-berusaha mengaitkan antara nomor yang didapatkan dengan faktor lain; seperti faktor keberuntungan.
Dalam banyak tinjauan ilmu pengetahuan nomor urut tidak mendapatkan bagian dalam upaya menyukseskan seseorang, tetapi berbeda dalam kacamata numerologi. Misalnya, dalam numeurologi: orang dengan angka kehidupan 1 (satu) adalah tipe orang yang senang mengungkapkan penemuan dan cara-cara baru untuk menyelesaikan hal-hal dalam hidup. Ide-ide brilian cenderung mudah menghinggapi benak mereka.
Kelebihan lain dari angka satu, atau angka yang sering kita sebut sebagai angka ganjil ini adalah disukai oleh Allah SWT. Seperti dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya Allah itu witir (esa/ganjil) dan suka pada yang ganjil” (Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmudzi). Dalam surat al-ikhlas ditegaskan bahwa Allah itu satu (ganjil), “Katakanlah (Muhammad) Allah itu satu”. Sebab Allah ganjil, maka Dia suka dengan sesuatu yang ganjil.
Satu merupakan sebuah angka yang dari situlah semua angka bermula. Adanya angka 2 (dua) misalnya dihasilkan oleh pertambahan angka 1 (satu) dengan angka 1 (satu); angka 3 (tiga) dihasilkan dari angka 2 (dua) ditambah angka 1 (satu). Artinya bahwa tidak mungkin ada angka apapun tanpa adanya satu, karena satu adalah dasar dan lainnnya adalah turunan. Segala sesuatu memang berasal dari yang satu, yaitu Allah SWT.
Penulis hanya meyakini satu hal, kalau ada sebagian orang berusaha mengingkari kebaikan angka satu, pasti dalam keadaan terpaksa. Karena siapapun orangnya, selalu ingin menjadi orang nomor satu, dapat juara kesatu, dan dinomorsatukan. Tidak mungkin jika ada orang menginginkan menjadi orang nomor dua, dapat juara kedua, dan dinomorduakan. Jika ada, pasti akan berat menjalani hari-harinya.
Jadi begini, dalam tinjauan apapun nomor 1 (satu) itu pasti yang terbaik.
Wallahu a’lam!
Pamekasan, 13 Pebruari 2018
Musannan, Sekretaris Lesbumi PCNU Pamekasan.
Share:

Usai Penetapan Nomor Urut, Salam Satu Istri Mencuat

MediaJatim.com, Pamekasan – KPU Pamekasan sudah resmi mengundi nomor urut pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati Pamekasan, Selasa (13/2).
Angka satu melekat pada paslon Bersama Ra Baddrut-Raja’e (Berbaur). Sementara pasangan KH Kholilurrahman-Fathorrahman (Kholifah) mendapat angka dua.
Usai penetapan nomor urut, di media sosial (medsos) bertebaran meme Salam Satu Istri. Meme tersebut tampaknya sengaja dimunculkan untuk menyerang KH Kholilurrahman yang diketahui beristri dua.
Pada pilkada sebelumnya saat kalah pada pasangan Achmad Syafii-Kholil Asy’ari (Asri), KH Kholilurrahman juga diserang dengan beristri dua. Bahkan, surat keterangan palsu istri pertamanya meninggal juga bertebaran.
“Angka 1 mangkatah. berarti parloh eyater. Angka 2 moleah. tak usa ateraghi ambek bheih,” begitu meme lainnya.
Pengamat politik Abu Bakar Basyarahil menegaskan, meme yang sifatnya merusak paslon tertentu, sangat tidak baik untuk perjalanan demokrasi. Sebab, itu masuk katagori black campaign (politik hitam).
Menurutnya, bisa saja meme politik dibuat sendiri oleh tim paslon, supaya terkesan paslonnya terzalimi. Namun, tambah Dosen Politik tersebut, tidak menutup kemungkinan itu memang dibuat oleh lawan politik dengan tujuan menggerus nilai tawar politik.
Reporter: Agus Supriyadi
Redaktur: Sule Sulaiman

Share:

Featured Post

Bukan Usia, Melainkan Kemampuan

Memilih pemimpin itu bukan soal siapa yang seharusnya lebih dulu, siapa kemudian. Lantaran, siapa lahir lebih dulu, siapa merasakan me...